Fenomena Fantasi Sedarah di Facebook: Krisis Moral dan Tanggung Jawab Digital
Fenomena yang disebut “fantasi sedarah” belakangan ini menjadi perbincangan hangat di Facebook. Diskusi yang seharusnya mendapatkan perhatian serius malah menjadi viral, sering kali dibahas dengan nada bercanda, bahkan oleh sebagian pengguna dianggap sebagai “tren imajinatif”. Ironisnya, di tengah masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai agama dan budaya timur, isu ini justru mendapat tempat yang cukup besar di media sosial tanpa adanya penyaringan yang berarti.
“Fantasi sedarah” mengacu pada keinginan seksual terhadap anggota keluarga dekat, seperti ayah, ibu, saudara, dan kerabat lainnya. Walaupun tidak semua wujud fantasinya bersifat riil, peredarannya dalam bentuk tulisan, cerita fiksi, atau postingan di media sosial berpotensi membentuk pandangan publik yang menerima perilaku menyimpang. Ini berbahaya karena dapat menganggap normal narasi yang sangat bertentangan dengan etika agama, hukum, dan sosial.
Dalam pandangan Islam, bahkan upaya mendekati zina saja sudah terlarang, apalagi membayangkannya dengan orang-orang yang memiliki hubungan mahram. Dalam QS. Al-Isra ayat 32, kita diingatkan untuk tidak mendekati zina, yang dianggap sebagai jalan jahat dan buruk. Fantasi yang mengarah pada pikiran menyimpang semacam ini dapat menjadi langkah awal menuju tindakan dosa, meskipun tidak selalu dilakukan secara fisik.
Sebagai mahasiswa, kita diajarkan bahwa komunikasi lebih dari sekadar menyampaikan pesan; itu juga terkait dengan tanggung jawab moral terhadap konten yang disampaikan. Saat seseorang menyebarkan atau bahkan mengomentari materi yang mengarah kepada penyimpangan tanpa pemahaman kritis, maka dia secara tidak langsung terlibat dalam penyebaran nilai yang merugikan.
Media sosial seperti Facebook, meskipun memberikan ruang untuk berekspresi, tetap harus dikendalikan oleh kesadaran bersama dari masyarakat digital. Jika tidak, media sosial berpotensi menjadi ruang terbuka untuk berbagai ide dan perilaku menyimpang yang diberikan kesempatan untuk berkembang. Inilah yang dikenal sebagai krisis moral digital: saat batas antara kebebasan dan keburukan menjadi tidak jelas.
Isu ini menunjukkan masih lemahnya kemampuan literasi digital di kalangan masyarakat kita. Banyak pengguna internet, terutama di kalangan generasi muda, belum bisa membedakan antara konten yang informatif, manipulatif, dan destruktif. Hal ini mengakibatkan mereka mudah menyebarkan konten kontroversial tanpa adanya refleksi atau kesadaran terhadap nilai-nilai yang ada.
Jika keadaan ini dibiarkan, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh individu, tetapi juga dapat mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Paparan terhadap narasi fantasi sedarah dapat mengganggu perkembangan psikologis anak muda, merusak norma keluarga, bahkan mendorong perilaku tiruan dalam kehidupan nyata. Ini adalah lebih dari sekadar konten, melainkan virus nilai yang harus kita waspadai.
Tanggung jawab terhadap penyebaran konten ini tidak hanya terletak pada platform maupun pemerintah, tetapi juga pada kita sebagai komunitas digital. Kita memiliki peran sebagai agen perubahan digital untuk melawan narasi yang menyimpang ini. Edukasi, kampanye literasi, hingga konten alternatif yang mendidik dan positif perlu terus diperkenalkan secara masif dan menarik.
Menjadi pengguna internet yang bijak berarti menolak untuk ikut serta dalam penyebaran konten yang tidak bermoral. Kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk berdakwah, alih-alih sebagai tempat untuk memproduksi atau mempromosikan keinginan yang menyimpang. Tidak cukup hanya dengan kemarahan atau kecaman; kita perlu tampil dengan narasi yang membangun dan membuka kesadaran.
Akhirnya, fenomena “fantasi sedarah” menunjukkan betapa krusialnya pendidikan etika di zaman digital ini. Kita tidak dapat hanya bergantung pada regulasi pemerintah atau penyaringan algoritma, melainkan perlu menciptakan kesadaran bersama yang berlandaskan nilai-nilai agama dan norma komunikasi. Ini adalah tantangan sekaligus kewajiban kita sebagai generasi yang berada di era tanpa batas.
Komentar
Posting Komentar