Angka-angka berbicara, dan kali ini, mereka membunyikan alarm darurat literasi di Indonesia. Di tengah gemuruh era digital dan limpahan informasi, fakta miris menunjukkan bahwa minat membaca masyarakat kita, khususnya anak-anak, masih terpuruk di titik terendah. Kondisi ini, jika dibiarkan, berpotensi menjadi penghambat utama kemajuan bangsa di masa depan.
Menurut data UNESCO, minat membaca di Indonesia hanya mencapai 0,001%. Angka ini berarti jika di analogikan, dari setiap seribu orang Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca. Sebuah riset dari Central Connecticut State University pada Maret 2016 bahkan menempatkan Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, hanya selangkah di atas negara Botswana. Ini adalah ironi besar bagi negara dengan kekayaan budaya dan potensi yang melimpah ruah.
Konsep literasi saat ini telah berkembang jauh melampaui sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi modern mencakup kapasitas untuk memahami informasi, berpikir kritis, peka terhadap risiko, dan menerapkan pengetahuan secara praktis dalam kehidupan. Seseorang yang literat mampu beradaptasi dengan perubahan cepat, menganalisis data, dan memiliki daya saing tinggi di pasar tenaga kerja yang kian kompetitif. Sayangnya, fondasi ini masih sangat rapuh di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mengungkap sebuah data yang mengkhawatirkan, peran orang tua dalam meningkatkan literasi anak usia dini masih sangat minim. Hanya sekitar 17,21% anak yang dibacakan buku cerita/dongeng oleh orang tua/wali, dan hanya 11,12% yang belajar atau membaca buku bersama. Padahal, kedua aktivitas ini merupakan pondasi krusial untuk membangun minat baca sejak dini. Minimnya stimulasi ini berdampak langsung pada kemampuan literasi anak-anak di kemudian hari.
Tidak mengherankan jika skor Program for International Student Assessment (PISA) Indonesia masih relatif rendah dan tertinggal dari negara lain. Pada tahun 2022, skor literasi membaca Indonesia bahkan menjadi yang terendah sepanjang sejarah penilaian PISA. Penilaian OECD ini, yang rutin diadakan setiap tiga tahun, mengevaluasi prestasi siswa berusia 15 tahun dan menjadi cerminan kualitas pendidikan suatu negara.
Dalam skala yang lebih besar, rendahnya tingkat literasi membaca ini secara tidak langsung akan menghambat kemajuan pendidikan nasional. Individu dengan tingkat literasi rendah cenderung memiliki produktivitas yang rendah dan kesulitan dalam menganalisis informasi. Akibatnya, mereka akan kesulitan beradaptasi dalam kehidupan yang cepat berubah dan kurang memiliki daya saing di pasar tenaga kerja yang kompetitif.
Kondisi darurat literasi ini menuntut perhatian dan tindakan serius dari semua pihak. Pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, hingga masyarakat umum memiliki peran krusial dalam membalikkan tren negatif ini. Inisiatif untuk meningkatkan akses terhadap buku, membangun budaya membaca di rumah dan sekolah, serta memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung literasi menjadi sangat mendesak.
Masa depan bangsa yang cerdas, inovatif, dan berdaya saing hanya bisa terwujud jika fondasi literasinya kuat. Namun, untuk benar-benar mendobrak stagnasi ini, kita perlu lebih dari sekadar "membaca." Mari kita ciptakan sebuah revolusi literasi yang anti-mainstream: di mana membaca bukan lagi beban, melainkan senjata rahasia untuk berpikir beda, berinovasi liar, dan menaklukkan tantangan tak terduga. Bukan hanya tentang berapa banyak buku yang kita habiskan, tapi seberapa dalam kita memecah kebekuan pikiran, menolak narasi tunggal, dan menemukan versi diri yang tak terduga di setiap halaman. Sudah saatnya kita bergerak bersama, tidak hanya menyalakan kembali semangat membaca, tapi juga mengobarkan pemberontakan intelektual demi generasi penerus yang berani berpikir di luar kotak dan mampu mengukir takdirnya sendiri.

Komentar
Posting Komentar