Rencana pemerintah memasukkan pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) ke dalam kurikulum nasional mulai tahun ajaran 2025/2026 patut diapresiasi. Langkah ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan Indonesia mulai menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Namun, di balik semangat mengejar kemajuan teknologi, muncul kekhawatiran baru: jangan sampai kemudahan yang ditawarkan AI justru membuat generasi muda kita kehilangan semangat berpikir, membaca, dan belajar secara mendalam.
Saat ini, penggunaan AI seperti ChatGPT, Gemini, atau Copilot di kalangan pelajar makin meluas. Berdasarkan laporan UNESCO (2023), penggunaan AI dalam pendidikan global meningkat lebih dari 35% pasca-pandemi. Di Indonesia, meskipun belum ada angka resmi, berbagai survei informal menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa mulai terbiasa menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas — bahkan sering kali tanpa benar-benar memahami materi. Fenomena ini memunculkan tantangan serius: AI bisa jadi alat bantu belajar yang luar biasa, tapi juga bisa menjadi “mesin pemalas” jika digunakan tanpa arahan yang tepat. Anak-anak tidak perlu lagi membaca panjang lebar atau mencoba memahami soal; cukup ketik pertanyaan, dan AI akan menjawab. Praktis? Ya. Tapi proses berpikirnya jadi tumpul.
Dari sisi kesiapan, tantangan lain juga tak kalah besar. Menurut data Kemendikbudristek 2023, pelatihan teknologi digital baru menjangkau sekitar 200.000 guru. Padahal total guru aktif di Indonesia mencapai lebih dari 2,7 juta orang. Sementara itu, BPS mencatat hanya 66,25% rumah tangga Indonesia yang memiliki akses internet, dengan kesenjangan signifikan antara perkotaan dan pedesaan. Artinya, masih banyak sekolah yang bahkan belum punya infrastruktur dasar untuk mendukung pembelajaran berbasis teknologi. Belum lagi soal siapa yang akan mengajarkan AI dan coding ini. Sampai saat ini, belum semua guru TIK dibekali kurikulum baru yang sesuai, apalagi guru non-TIK. Data internal Pusdatin Kemendikbud menunjukkan hanya sekitar 30% guru yang merasa siap mengajar teknologi seperti coding.
Lebih ironis lagi, jika akses pembelajaran ini hanya bisa dinikmati oleh siswa-siswa di kota besar yang punya laptop dan internet cepat, maka AI justru memperlebar jurang ketimpangan. Siswa di daerah 3T akan tertinggal jauh, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak diberi kesempatan yang sama.
Komentar
Posting Komentar