Langsung ke konten utama

Potret Pendidikan Indonesia Kini: Jurang Pemisah dan Secercah Asa Perubahan



Pendidikan di Indonesia saat ini masih berkutat dengan berbagai persoalan mendasar yang seolah tak berkesudahan, meski berbagai macam perubahan kurikulum, kebijakan, serta kucuran dana telah diupayakan. Menurut informasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Rapor Pendidikan Indonesia 2023, kemampuan literasi dan numerasi siswa secara umum masih di bawah standar minimum PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis oleh OECD. Pada 2018, skor PISA Indonesia untuk kemampuan membaca hanya 371 poin, tertinggal jauh dari rata-rata OECD sebesar 487 poin – sebuah kesenjangan yang patut menjadi perhatian utama. Ironisnya, pemerataan kualitas pendidikan di berbagai daerah masih menjadi masalah klasik yang belum terpecahkan. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di sektor pendidikan di wilayah perkotaan jauh melampaui angka di pedesaan. Contohnya, di Kota Yogyakarta, rata-rata lama sekolah mencapai 11,7 tahun, sementara di Nusa Tenggara Timur hanya sekitar 8,1 tahun pada 2023. Ketimpangan ini menandakan bahwa akses serta mutu pendidikan di Indonesia belum merata. Selain masalah mutu dan ketimpangan, sistem pendidikan juga menghadapi tantangan digitalisasi yang belum sepenuhnya didukung oleh infrastruktur yang memadai. Laporan dari We Are Social dan Hootsuite pada 2023 mencatat bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77%, namun distribusinya tidaklah merata. Masih ada wilayah pelosok yang bahkan belum memiliki sinyal 4G yang stabil. Akibatnya, digitalisasi pembelajaran, yang dipercepat sejak pandemi COVID-19, justru memperlebar jurang antara sekolah yang memiliki akses teknologi dan yang kesulitan menjangkau jaringan. 

Namun, kebijakan Merdeka Belajar yang digagas pemerintah sebenarnya membawa angin segar dengan nuansa fleksibilitas dalam kurikulum, penekanan pada pembentukan karakter pelajar Pancasila, serta memberikan ruang bagi guru untuk berkreasi. Sayangnya, implementasi di lapangan masih belum mulus. Banyak guru yang belum sepenuhnya memahami metode pembelajaran berbasis proyek dan asesmen formatif, terutama di sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas. Persoalan kualitas tenaga pengajar juga menjadi tantangan yang belum terselesaikan. Data Kemendikbudristek (2023) mencatat bahwa dari 2,7 juta guru di Indonesia, sekitar 40% belum memiliki kualifikasi S1 atau sertifikasi profesi. Hal ini tentu berdampak pada mutu proses belajar mengajar. Dengan kondisi demikian, wajar jika hasil pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menjawab kebutuhan abad ke-21, terutama dalam menyiapkan generasi yang adaptif, kreatif, dan mampu berpikir kritis. 

Oleh karena itu, perbaikan harus difokuskan pada hal-hal mendasar: pemerataan sarana pendidikan, peningkatan kompetensi guru, penyusunan kurikulum yang relevan, dan komitmen untuk memastikan pengawasan anggaran yang transparan dan tepat sasaran. Indonesia memiliki segudang gagasan serta kebijakan untuk memajukan pendidikan; yang seringkali kurang adalah implementasi dan keberlanjutan kebijakan tersebut di lapangan. Semoga perubahan yang diupayakan tidak hanya menjadi retorika belaka, tetapi dapat terwujud dalam transformasi nyata – agar pendidikan benar-benar menjadi jalan untuk memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan.


Oleh : Nada Astul Husnah 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

                                                       Litera Suara Komunitas Peneliti Muda  Litera" berasal dari kata "Literasi" dan " Literatur ". Nama ini menekankan pentingnya literasi ilmiah dan kemampuan membaca, menulis, serta berpikir kritis yang merupakan dasar dari kegiatan penelitian. Selain itu, kata “ literatur ” juga sering digunakan dalam dunia riset sebagai rujukan utama untuk studi pustaka atau referensi. Simpel, mudah diingat, dan bernuansa akademik:  "LITERA" terdengar profesional tapi tetap ringan dan familiar di telinga mahasiswa atau pemuda, sehingga cocok digunakan sebagai nama media komunitas yang bergerak di bidang ilmiah.  Media komunitas LITERA menyasar segmen audiens yang spesifik namun strategis, yaitu mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam komunitas akademik dan memiliki minat terhadap kegiatan penelit...

Membangun fondasi literasi yang kuat untuk masa depan

Angka-angka berbicara, dan kali ini, mereka membunyikan alarm darurat literasi di Indonesia. Di tengah gemuruh era digital dan limpahan informasi, fakta miris menunjukkan bahwa minat membaca masyarakat kita, khususnya anak-anak, masih terpuruk di titik terendah. Kondisi ini, jika dibiarkan, berpotensi menjadi penghambat utama kemajuan bangsa di masa depan. Menurut data UNESCO, minat membaca di Indonesia hanya mencapai 0,001%. Angka ini berarti jika di analogikan, dari setiap seribu orang Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca. Sebuah riset dari Central Connecticut State University pada Maret 2016 bahkan menempatkan Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, hanya selangkah di atas negara Botswana. Ini adalah ironi besar bagi negara dengan kekayaan budaya dan potensi yang melimpah ruah. Konsep literasi saat ini telah berkembang jauh melampaui sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi modern mencakup kapasitas untuk memahami informasi, berpikir kritis...
 Urgensi, Tantangan, dan Strategi Penguatan Literasi Media di Era Digital   Literasi media menjadi kompetensi esensial di era digital yang ditandai dengan arus informasi yang deras dan cepat. Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan konten media secara kritis merupakan syarat utama untuk menjadi warga digital yang bijak dan bertanggung jawab. Artikel ini membahas urgensi literasi media dalam kehidupan masyarakat modern, tantangan yang dihadapi dalam penerapannya, serta strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat kapasitas literasi media, terutama di kalangan generasi muda. Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara manusia mengakses dan memproduksi informasi. Internet, media sosial, dan berbagai platform digital memungkinkan pertukaran informasi berlangsung secara instan tanpa batasan geografis. Di tengah kemudahan tersebut, muncul tantangan serius berupa misinformasi, disinformasi, hoaks...